20120225

Pemberdayaan Sumber Tenaga Air Untuk Listrik di Pedesaan Palu

Fenomena krisis listrik yang melanda Kota Palu merangsang kreativitas warga untuk mencari solusi sendiri. Menggantungkan listrik kepada pemerintah kota sama dengan pungguk merindukan bulan. Mungkin itulah yang ada di benak masyarakat di RW 4 Kelurahan Watusampu.

Daerah yang berjarak 13 kilometer dari pusat Kota Palu ini memiliki 200 KK. Hingga 32 tahun usia Kota Palu warga belum mendapatkan penerangan yang memadai. Ketua RW 4 Herman mengambil inisiatif untuk mencari energi alternatif. Bersama warga lainnya, ia mendiskusikan hal tersebut kepada Koordinator BKM Kelurahan Watusampu Zainuddin.

Tahap berikutnya, melalui forum rembug warga disepakati untuk mengalokasikan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) tahap dua tahun 2010 senilai Rp3 juta. Dana ini digunakan untuk membeli peralatan pembuatan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), selebihnya swadaya masyarakat mencapai Rp6juta, sebab alokasi dana yang dibutuhkan untuk membuat PLTA berdiameter 1,5 meter itu mencapai Rp9 juta, untuk pengadaan mesin, dinamo, kayu dan kabel jaringan.
Triono, salah seorang warga Banyumas, Jawa Timur, dipercayakan oleh warga setempat untuk membuat instalasi bangunan PLTA manual tersebut.
Triono yakin, jika PLTA Manual ini dibangun, bisa membantu penerangan desa sebanyak 5.000 watt. Tak lama kemudian, PLTA yang digerakkan oleh air terjun itu, sudah bisa dinikmati warga.
Setiap kepala keluarga/rumah mendapat jatah 140 watt. Walau dengan daya yang terbatas, warga sudah bisa menikmati tontonan melalui televisi.

“Kami biasanya menggunakan alat begini di Pulau Jawa. Jadi sudah paham soal alat ini. Cukup dengan air mancur yang memiliki debit air kencang. Apalagi Watusampu memiliki air terjun yang mampu menggerakkan turbin. Apa salahnya jika masyarakat memanfaatkannya,” kata Triono gamblang.
Langkah kreatif warga yang dimotori PNPM Mandiri Perkotaan Kota Palu ini perlu mendapat apresiasi. Ini juga langkah yang sangat baik, daripada harus mengandalkan uluran pemerintah yang tak kunjung tiba—atau mungkin sengaja menutup mata dengan fenomena yang ada di masyarakatnya?

Saat ini, kincir air sudah resmi dioperasikan sejak Januari, sehingga sudah ada warga yang mampu menikmati tayangan televisi, meski alakadarnya. Tidak ketersediaan penerangan memang membuat warga sulit untuk membangun akses, bahkan membuat warga jadi terbelakang. Tapi sekarang, tidak lagi. Sumber: www.p2kp.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar