Tahta Untuk Rakyat: Manunggaling Kawula Gusti
Dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ada sebuah kisah mengharukan tentang Sultan Hamengku buwono IX, yang pernah dituturkan oleh S. K. Trimurti. Ya, sebuah kisah yang telah menjadi cerita rakyat dari dulu hingga sekarang. Kisah ini berkaitan dengan kebiasaan Sultan Hamengkubuwono IX yang selalu mengendarai mobilnya sendiri kemana pun pergi. Beliau adalah raja yang sering bepergian tanpa sopir dan pengawal. Bahkan, saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan pada masa kekuasaan Presiden Soekarno,beliau memilih naik mobil sendiri untuk hilir mudik ke Jakarta.
Memanggul Karung Pedagang Pasar
Dari kebiasaan tersebutlah kisah ini bermula. Suatu ketika, Sultan Hamengkubuwono IX mengunjungi salah satu abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di Kinahrejo, yang tidak lain adalah Mas Panewu Surakso Hargo alias Mbah Maridjan, juru kunci Merapi. Pada saat perjalanan pulang ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, di tengah jalan, tepatnya di sekitar jalan Kaliurang, beliau dihentikan oleh seorang ibu-ibu dengan beberapa karung dagangan. Beliau pun menghentikan mobilnya, kemudian membantu menaikkan karung-karung milik Ibu tadi ke atas mobilnya. Setelah selesai, beliau pun menancap gas meluncur ke Pasar Kranggan di Utara Tugu Yogyakarta, sebagai tujuan Ibu tadi.
Menghentikan sembarang mobil memang keharusan bagi Ibu-ibu yang akan mengangkut barang dagangannya ke pasar, apalagi saat itu masih di Yogyakarta masih jarang yang memiliki mobil. Setelah sampai di Pasar Kranggan, Sultan Hamengkubuwono IX pun ikut menurunkan dagangan milik si Ibu tadi. Melihat kejadian itu, orang-orang di pasar yang mengenal beliau, Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, terheran-heran, kaget, dan takjub. Jelas saja, itu adalah pemandangan yang sangat langka. Setalah selesai menurunkan barang, beliau pun pamit pergi. Ibu penumpang tadi pun hendak membayar atas tumpangannya, tetapi tentu saja Sultan Hamungkubuwono IX menolak, dan langsung pergi. Tak ayal Ibu penumpang itu ngedumel, ngomel-ngomel sendiri: “Dasar, sopir aneh, gak butuh duit, mau dibayar kok tidak mau,” begitu kira-kira.
Seorang polisi yang melihat kejadian itu pun langsung memberi tahu Ibu penumpang tadi bahwa sopir yang beliau tumpangi itu adalah Sultan Hamengkubuwono IX, Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Mendengar penjelasan itu, Ibu penumpang itu mendadak pingsan.
Cerita itu mengingatkan kepada kita semua kepada sebuah buku berjudul Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX, sebuah autobiografi yang dihimpun oleh Mohamad Roem, Mochtar Lubis, dkk. dan disunting oleh Atmakusumah. Dalam buku tersebut dikisahkan, betapa bijaksananya Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut.
Kisah Zaman Revolusi
Buku bersampul merah itu mengisahkan kembalinya Belanda bersama NICA pasca proklamasi 1945, dan kemudian menguasai kembali Ibu Kota Republik, Jakarta. Oleh karena itu, pada 1946, Sultan mengundang Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran kabinetnya untuk memindahkan Ibu Kota ke Yogyakarta. Pada saat itu, Yogyakarta merupakan negeri yang berdaulat dan diakui oleh Kerajaan Belanda. Rombongan Pemerintah Indonesia pun tiba di Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Padahal, secara pribadi, sebelumnya Sultan Hamengkubuwono IX tidak mengenal Soekarno, sehingga peristiwa tersebut menjadi pertemuan pertama mereka berdua yang sangat bersejarah. Dua hari setelah rombungan Jakarta datang, Yogyakarta pun diserang oleh Belanda.
Membaca kondisi Kota Yogyakarta yang akan jatuh kepada tentara Belanda, Sultan Hamengkubuwono IX memerintahkan para pejuang di bawah pimpinan Jendral Soedirman untuk menyingkir dari kota dan bergerilya. Meskipun demikian, para pejuang masih melakukan penyerangan-penyerangan secara sporadis untuk menunjukkan kepada dunia bahwa TNI masih ada. Pada saat Belanda telah menguasai wilayah Kota Yogyakarta sepenuhnya, para pemimpin pun diasingkan, dan Sultan Hamengkubuwono IX pun diisolasi ke dalam wilayah keraton saja, tidak diperbolehkan keluar. Nah, di dalam keraton, Sultan Hamengkubuwono IX menyusun strategi perjuangan bersama para pegawai pemerintahan yang menyamar menggunakan pakaian abdi dalem (menjadi pegawai keraton), sehingga diperbolehkan masuk ke dalam keraton. Salah satu orang yang melakukan penyamaran tersebut adalah Soeharto, yang kelak menjadi presiden kedua RI.
Dalam waktu bersamaan, Sultan Hamengkubuwono IX juga berhubungan dengan Sjahrir untuk membuat RIS, sebuah pemerintahan sementara di Padang. Beliau juga aktif menggalakkan siaran-siaran radio internasional untuk membuka mata dunia bahwa pemerintahan dan tentara Indonesia masih ada, semua hal ini dilakukan agar Indonesia sebagai negara diakui eksistensinya. Dengan gerakan tersebut, akhirnya beliau ditawari pemerintah Belanda beberapa kekuasaan, yaitu seluruh pulau Jawa dan Madura, dengan syarat Belanda tetap boleh menguasai wilayah-wilayah lain di Indonesia. Akan tetapi, beliau menolak mentah-mentah. Begitulah sikap patriotik dan nasionalisme Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sebagai seorang nasionalis, Sultan Hamengkubuwono IX selalu memikirkan strategi mempertahankan berdirinya Indonesia. Bahkan, beliau tidak segan menanggung seluruh biaya pemerintahan, termasuk gaji Soekarno-Hatta dan seluruh kabinetnya, termasuk operasional TNI, dan pengiriman-pengiriman delegasi Indonesia ke konferensi Internasional. Beliau tidak mau mengakui berapa jumlah uang yang telah dikeluarkan oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk itu semua, Akan tetapi, menurut Mohamad Hatta uang tersebut lebih dari 5 juta gulden, bukan uang yang sedikit pada zaman revolusi saat itu.
Kabar gembira pun terdengar dari kancah internasional, PBB menyatakan Indonesia menang dalam Konferensi Meja Bundar. Saat itu pula PBB memerintahkan Belanda untuk angkat kaki dari Indonesia. Para pemimpin dan menteri-menteri pun kembali ke Yogyakarta dari pengasingan dan persembunyiannya. Soedirman dan pasukannya juga kembali ke kota, sehingga terjadilah peristiwa proklamasi Indonesia yang kedua di Yogyakarta pada 1949. Cerita ini sangat jarang diungkap oleh sejarawan, maupun media.
Selanjutnya, Soekarno-Hatta dan seluruh jajaran serta staff kabinet RI pun kembali ke Ibu Kota Jakarta pada 1949. Saat perpisaah, Sultan Hamengkubuwono IX memberikan cek senilai 6 juta gulden kepada Soekarno-Hatta. Beliau berharap uang tersebut dapat dijadikan modal pembangunan republik yang masih bayi tersebut. Dalam upacara perpisahan dan memberikan cek tersebut, beliau sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, berpidato di muka umum,dan mengakui kemiskinannya, seraya mengatakan “Yogyakarta tidak mempunyai apa-apa lagi.” Saat itu, beliau tidak mengatakan ‘saya’ atau ‘keraton’, tapi mengatasnamakan ‘Yogyakarta’. Ini adalah sebuah cerminan “manunggaling kawula gusthi” (bersatunya rakyat dan raja), penghargaan stinggi-tingginya terhadap rakyat jelata yang telah ikut berjuang.
Dalam suara bergetar dan uraian air mata, Soekarno pun berpidato pendek menanggapi hal tersebut, “Yogyakarta termasyhur karena jiwa-jiwa kemerdekaannya, hidupkanlah terus jiwa-jiwa kemerdekaan itu.” (Sumber : http://newyorkyakarta.net/tahta-untuk-rakyat )
Aburizal Bakrie Merenungkan 100 Tahun Indonesia
Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua
Pertama-tama saya ingin mengajak kita semua memanjatkan puji dan syukur kehadapan Allah SWT. Atas izin dan rahmatnya, kita dapat bersama-sama berkumpul pada hari yang berbahagia ini.
Sebelum mulai, saya ingin mengabarkan terlebih dahulu bahwa pada awal Desember kemarin, saya dan beberapa pengurus DPP Partai Golkar sempat berkunjung ke Washington DC dan New York untuk menyampaikan pidato di Usindo dan menjadi narasumber di Council of Foreign Relations, sebuah lembaga diplomasi dunia yang sangat bergengsi.
Tetapi yang paling berkesan adalah, di sela-sela kunjungan tersebut, saya sempat berkunjung ke Kongres AS di Capitol Hill. Saya ingin melihat serta mempelajari bagaimana lembaga legislatif yang tersohor itu (salah satu lembaga demokrasi modern paling awal, dengan usia lebih dari dua abad) mengelola perbedaan politik serta merumuskan langkah bersama dalam kebijakan anggaran, asuransi sosial, stimulus fiskal, dan semacamnya.
Singkatnya, saya ingin menggunakan waktu yang tidak terlalu banyak di Washington DC untuk belajar tentang keampuhan Kongres AS dalam merajut kebersamaan dan mendorong kebijakan yang kongret.
Tapi ternyata, justru pada saat itu Kongres sedang terlanda demosclerosis dan kebuntuan politik. Masalah polarisasi antara kaum Demokrat dan kaum Republikan semakin tajam. Di tengah situasi perekonomian nasional AS yang masih belum menentu, belum ada kebijakan besar yang berhasil dicapai bersama. Akibatnya, publik AS menjadi sangat kritis terhadap para politisi kedua partai (barangkali sedikit lebih tajam dibandingkan dengan kritik publik Jakarta terhadap politisi di Senayan).
Dari pengalaman ini, saya justru menjadi lebih apresiatif terhadap DPR Republik Indonesia. Kongres AS, dengan dua partai saja, tetapi sudah mengalami kebuntuan dalam mendorong kebijakan nasional. DPR RI berisi 9 partai, bisa dibayangkan dinamikanya yang begitu tinggi, tetapi dari waktu ke waktu, manakala ada kebijakan penting yang harus dilahirkan, kaum politisi kita masih sanggup mengelola perbedaan dan melahirkan kebersamaan yang memadai untuk mendukung kebijakan tersebut.
Semua ini saya ceritakan bukan untuk mendorong kita menepuk dada. Kita masih harus mengejar ketertinggalan dalam tingkat kesejahteraan, industri, teknologi, pendidikan, dan sebagainya. DPR RI dan Fraksi Partai Golkar sebagai salah satu kekuatan besar di dalamnya, harus menjadi instrumen politik Indonesia dalam mempercepat kemajuan bangsa. Lembaga terhormat ini harus menjadi contoh, memimpin di garis terdepan, agar perjuangan bersama mencapai kesejahteraan umum dapat tercapai dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Saudara-saudara yang saya muliakan
Hadirin yang saya banggakan
Pada awal tahun seperti ini, selalu terasa bahwa perputaran waktu berjalan begitu cepat. 2009, 2010, 2011, dan kini tahun 2012. Semuanya terasa seperti kemarin, meninggalkan begitu banyak potret peristiwa yang datang dan pergi. Dalam saat-saat seperti inilah kita diingatkan sekali lagi bahwa waktu adalah elemen yang temporer. Tidak ada yang kekal dan abadi, kecuali Sang Khalik dan kebesarannya.
Karena itulah, saya ingin mengajak semua pihak untuk memberikan yang terbaik, mengukir kenangan positif dan karya nyata, sejauh kita masih memiliki waktu serta kesempatan untuk melakukannya.
Saya tahu bahwa masih sangat panjang daftar isu dan kebijakan kongkret yang perlu dibahas. Tetapi perkenankanlah saya pada hari ini, pada awal tahun yang penuh harapan ini, untuk mengajak saudara-saudara melihat jauh ke depan, bukan hanya 2014 atau 2019, tetapi lebih jauh lagi, membayangkan seabad atau seratus tahun Indonesia, 1945-2045. Pandangan jauh ke depan inilah yang saya harapkan menjadi conceptual guidance, arah konseptual bagi Partai Golkar di tahun-tahun mendatang. Dengan visi yang jauh ke depan, langkah yang kita lakukan hari ini akan lebih pasti dan kokoh, serta memiliki tujuan yang jelas.
Walaupun masih terasa jauh saat ini, masih tiga dekade lagi, tetapi saat itu pasti akan tiba, sewaktu bangsa Indonesia merayakan proklamasi 17 Agustus untuk keseratus kalinya. Adalah sebuah tragedi jika perayaan tersebut diperingati dengan kondisi Indonesia yang tidak beranjak jauh dari kondisi kita saat ini.
Kita justru berharap bahwa seluruh bangsa Indonesia yang memperingati hari bersejarah tersebut (jumlah mereka saat itu mencapai 300 juta jiwa), akan merasa bersyukur dan berterimakasih kepada generasi-generasi yang telah lewat, termasuk kita sekarang ini, yang telah mewariskan kepada mereka bangsa yang besar, bangsa yang sejahtera dan sudah masuk dalam kategori negara maju, dengan pencapaian yang membanggakan dan reputasi yang terhormat.
Karena itu, kita yang hidup dan memimpin saat ini harus berani bermimpi, harus berani membayangkan bahwa di tahun-tahun mendatang, prestasi Indonesia dalam pembangunan di segala bidang akan lebih baik dan lebih progresif lagi.
Saat ini, kalau kita memakai ukuran ekonomi yang baku, tingkat pendapatan per kapita Indonesia kurang lebih $3,500, hampir sama dengan Cina serta cukup jauh di atas India, tetapi masih sangat jauh di bawah rata-rata pendapatan minimal negara yang makmur, yaitu sekitar $25,000 per kapita, seperti Korea Selatan saat ini.
Kalau perekonomian kita bisa tumbuh konsisten 7% setiap tahun, maka dalam satu dekade tingkat pendapatan kita akan berlipat dua, menjadi $7,000, dan satu dekade setelahnya akan berlipat dua lagi. Jadi pada tahun 2032, Indonesia sudah di ambang batas negara yang makmur, dengan rata pendapatan $14,000 per kapita. Pada saat itu, kalau terus tumbuh dan berupaya lebih keras lagi, maka bahkan sebelum berusia seabad, Indonesia sudah akan menembus batas pendapatan sebagai negara maju.
Semua itu mampu kita capai “hanya” dengan pertumbuhan 7% per tahun. Harus kita ingat, Cina mampu tumbuh 9% per tahun selama 25 tahun terus menerus, dan melipatduakan pendapatannya setiap 7 hingga 8 tahun. Kalau kita mampu menyatukan langkah dan berusaha lebih keras lagi dan mendekati prestasi Cina, maka Indonesia tidak perlu menunggu 30 tahun untuk menjadi negara maju yang makmur. Dengan pertumbuhan 9% per tahun, prestasi besar tersebut akan tercapai insya Allah dalam masa hidup kita, yaitu sekitar dua dekade ke depan.
Dalam sejarah dunia, hanya ada segelintir negara yang berhasil tumbuh secepat itu serta dalam dua generasi mampu mengubah status dari negara miskin menjadi negara maju. Negara tersebut adalah Jepang, Korea Selatan dan Singapura. Prestasi dalam percepatan kemajuan yang berhasil mereka raih belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah peradaban manusia.
Indonesia sejauh ini cukup memuaskan. Dari proklamasi 1945 hingga prahara 1965, perekonomian nasional dan tingkat kesejahteraan rakyat tidak beranjak jauh. Tetapi setelah itu, dengan Pak Harto sebagai pimpinan, di mana Golkar turut serta mengambil peranan sentral, pembangunan ekonomi kita mengalami percepatan yang cukup mengagumkan.
Konsep dasarnya adalah trilogi pembangunan (stabilitas, pertumbuhan, pemerataan) yang dijabarkan dalam banyak hal, seperti pendidikan dasar, irigasi, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, puskesmas, program KB, program pengentasan kemiskinan, jalan tol, jalan provinsi, jalan kabupaten, hingga satelit Palapa dan tahap awal industri jasa dan manufaktur, serta masih banyak lagi.
Semua itu terjadi berkelanjutan selama tiga dekade. Dalam periode tersebut, dari 180 negara sedang berkembang, Indonesia termasuk satu dari 13 negara yang berhasil tumbuh di atas 5 persen per tahun selama lebih dari 25 tahun berturut-turut. Hal ini adalah suatu pencapaian yang patut dibanggakan.
Partai Golkar tidak boleh melihat semua itu hanya sebagai bagian dari masa lalu, apalagi mengecilkannya atau menyembunyikan dibalik sejumlah apologia. Ia harus menjadi sumber legitimasi, serta sumber motivasi dan landasan dari tekad baru Partai Golkar untuk merebut kemenangan dalam Pemilu 2014. Kemenangan dan kekuasaan akan kita pergunakan untuk memimpin Indonesia dalam mengukir prestasi yang lebih baik lagi.
Kita harus membuktikan bahwa justru di alam demokrasi, kepemimpinan Partai Golkar, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif, akan semakin berhasil dalam mendorong kemajuan Indonesia.
Kalau menang pada Pemilu 2014, maka Golkar adalah partai dengan sebuah tugas historis, sebuah mission sacre, sebuah misi suci: yaitu untuk mengawal Indonesia, menyiapkan fondasinya, sedemikian rupa sehingga sebelum berusia seabad, Indonesia sudah masuk dalam kelompok negara maju — sebuah negara yang kuat dan terhormat; adil dan sejahtera; modern dan toleran; dengan kesempatan yang sama dan terbuka buat semua.
Saudara-saudara yang saya muliakan
Hadirin yang saya hormati
Perjuangan Indonesia untuk menjadi negara maju juga sangat ditentukan oleh kondisi dunia. Memang, dalam soal ini, kita harus menyimak dengan seksama perkembangan perekonomian global, dengan situasi krisis di Eropa serta masih belum pulihnya dinamo ekonomi AS sejak badai finansial 2008-2009. Tetapi saya yakin, kondisi ini tidak akan membawa dunia ke dalam Depresi Besar seperti tahun 1930an.
Malah sebaliknya, setelah dua atau tiga tahun ke depan, kondisi dunia akan pulih dan perekonomian global akan tumbuh lebih cepat lagi dari sebelumnya. Sekarang saja, walaupun Eropa dan AS mengalami kesulitan, perekonomian global masih terus tumbuh – Cina, India, Rusia, Brazil, Chile, Turki, Indonesia, dan masih banyak lagi negeri lainnya tidak merasakan dampak yang terlalu negatif.
Hal ini terjadi karena dunia sekarang sudah berbeda, sebuah dunia yang digambarkan oleh Michael Spence, seorang ekonom peraih hadiah Nobel dari Stanford University, sebagai a multispeed world. Hingga dua dekade silam, Eropa dan AS (plus Jepang) adalah satu-satunya dinamo perekonomian dunia, dengan 15 persen total penduduk dunia. Sekarang, mereka masih penting, tetapi bukan lagi satu-satunya pusat pertumbuhan.
Dengan bangkitnya Cina dan India, plus Rusia dan negara-negara pasca-komunis, serta pesatnya pertumbuhan di Amerika Latin dan Asia Timur, termasuk Indonesia, dengan total penduduk lebih dari separuh penduduk dunia (penduduk Cina dan India saja sudah berjumlah hampir tiga miliar jiwa, sekitar 40 persen penduduk dunia), perekonomian global memasuki era baru. Belum lagi kecenderungan beberapa tahun terakhir di mana negeri-negeri besar di Afrika yang selama puluhan tahun stagnan kini mulai berubah dan membuka diri.
Semua itu berujung pada sebuah kecenderungan yang akhir-akhir ini sering disebut sebagai a great convergence, sebuah konvergensi besar dalam perekonomian global di mana partisipan yang terlibat di dalamnya bertambah berlipat kali, dengan lokasi geografis yang semakin tersebar di berbagai belahan dunia, market scale yang dengan sendirinya bertambah secara fantastis, dan semuanya menerima rules of the game yang sama serta sistem perekonomian dengan dasar-dasar yang tidak jauh berbeda.
Saya menjelaskan semua ini untuk mengatakan satu hal: bahwa Indonesia, dalam kondisi dunia yang baru, justru memiliki kesempatan yang lebih terbuka lagi untuk semakin maju dan berkembang. Kemungkinan baru ini harus dimanfaatkan maksimal demi kepentingan kita, sekarang dan di masa depan.
Pada hemat saya, untuk mencapai semua itu, berbagai hal perlu disiapkan dan dipikirkan secara serius sejak sekarang, terutama oleh kaum pimpinan nasional, termasuk kita di Partai Golkar. Salah satu isu terpenting di antaranya adalah kualitas pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Sejauh ini, sejak zaman Pak Harto, Indonesia relatif sudah berhasil meningkatkan literasi dengan jaringan pendidikan dasar dan menengah yang ekstensif. Sekarang, kita harus mendorong kemajuan setingkat lebih jauh lagi dengan meningkatkan kualitas pendidikan tinggi kita, agar seirama dengan tuntutan perkembangan dunia.
Dengan keberhasilan anak-anak Indonesia dalam berbagai olimpiade internasional bidang ilmu fisika, matematika dan biologi, serta dengan perkembangan terakhir di mana kaum remaja kita di berbagai kota memperlihatkan kemampuan rekayasa yang kreatif dengan merakit dan membuat mobil nasional, atau pesawat ringan, dan sebagainya, maka sebenarnya potensi manusia kita bisa diandalkan. Adalah tugas mulia bagi kita untuk memberikan mereka lebih banyak kesempatan serta tempat untuk tumbuh dan berkembang. Semua ini dapat dicapai dengan mendorong sistem universitas yang semakin maju dan semakin luas jangkauannya.
Selain itu, perkembangan infrastruktur juga harus terus menjadi perhatian kita. Dengan kondisi sekarang, sulit dibayangkan bahwa jaringan jalan, listrik, pelabuhan, air bersih, dan semacamnya, akan sanggup memungkinkan pertumbuhan cepat dalam 10 tahun mendatang. Sekarang pun sudah terlihat tanda-tanda bahwa perkembangan kondisi infrastuktur kita tidak sanggup berpacu dengan kecepatan pertumbuhan 6 hingga 7 persen per tahun. Jika tidak dilakukan langkah-langkah drastis, maka ia akan menciptakan bottlenecks di mana-mana, yang tentu saja akan memperlambat langkah-langkah kita.
Perkembangan infrastruktur tidak hanya mencakup persoalan di Jawa saja, tetapi mungkin lebih mendesak lagi di daerah-daerah kita di luar Jawa. Selama ini, sebuah silent revolution terjadi tanpa banyak kita sadari: justru perkembangan ekonomi di daerah sangat pesat dan mengejutkan, rata-rata melampaui pertumbuhan di Jawa, dan dalam beberapa tahun terakhir sudah menjadi salah satu motor pertumbuhan perekonomian nasional. Bukan lagi hanya Jakarta, Surabaya dan Bandung, tetapi Medan, Palembang, Balikpapan, Makasar, Manado, Monokwari dan Jayapura kini muncul menjadi pusat-pusat pertumbuhan yang sangat dinamis.
Sekarang, daerah-daerah kita sudah mencapai titik yang penting, di mana tanpa pembangunan cepat infrastruktur yang lebih baik dan modern lagi (jalan, pelabuhan, airport, listrik, dan fasilitas umum lainnya), potensi mereka tidak akan bisa berkembang lebih maksimal. Selain di Jawa, kita harus membangun dengan pesat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga Papua dan Nusa Tenggara. Percepatan pembangunan infrastruktur di daerah-daerah ini adalah salah satu kata kunci pembangunan di tahun-tahun mendatang.
Untuk semua itu, tentu saja dibutuhkan dana yang besar. Sebenarnya, dana bukan persoalan buat kita. Tetapi di situlah ironi terbesar kebijakan publik Indonesia. Tahun ini saja hampir Rp300 triliun kita keluarkan buat subsidi BBM dan subsidi lainnya, yang merupakan pengeluaran terbesar kita. Tahun lalu anggaran seperti ini adalah Rp 140 triliun, dan tahun sebelumnya sekitar Rp 100 triliun. Jadi dalam tiga tahun terakhir ini saja sudah sekitar Rp 500 triliun kita gunakan buat subsidi, sebuah jumlah yang sebenarnya cukup memadai untuk mengawali percepatan pembangunan infrastruktur di segala bidang.
Partai Golkar harus menjadi pelopor dalam mencari jalan keluar dari permasalahan pelik ini, dengan melahirkan strategi anggaran yang lebih baik, lebih tepat sasaran, lebih pro-rakyat, tetapi sekaligus lebih mencerminkan asas-asas ekonomi yang produktif.
Selain itu, masih banyak lagi hal lainnya yang perlu kita lakukan. Penguatan ekonomi daerah, penciptaan kebijakan energi dan sumber daya alam yang menjamin kemandirian sekaligus pertumbuhan, sinergi segala kebijakan dan jaminan sosial dalam konsep negara kesejahteraan, fasilitas bagi UKM dan microfinance, program pengentasan kemiskinan, dan lain sebagainya.
Saudara-saudara yang saya muliakan
Hadirin yang saya hormati
Rencana besar menuju seabad Indonesia serta percepatan kemajuan yang kita inginkan tidak mungkin tercapai hanya dengan langkah dan kebijakan ekonomi. Bahkan bisa dikatakan bahwa langkah dan kebijakan ini adalah subordinat atau bergantung pada perjuangan kita dalam mempertahankan serta mengembangkan beberapa hal dengan lebih baik lagi.
Pada zaman Pak Harto, salah satu komponen terpenting dalam konsep trilogi pembangunan adalah stabilitas. Memang kita tidak bisa dan tidak perlu memutar jarum jam kembali. Sekarang, konsep stabilitas ini harus kita lihat sebagai konsep yang dinamis di alam demokrasi.
Tetapi esensinya hampir sama, yaitu bahwa untuk maju dan berkembang, sebuah bangsa membutuhkan ruang yang damai, kooperatif, dan harmonis, di mana rencana dan berbagai kegiatan dapat dilakukan tanpa konflik yang tajam. Anarki adalah resep bagi kehancuran, bukan jalan bagi kemajuan. Karena itu, Partai Golkar harus berdiri di garis terdepan untuk mengajak semua pihak agar menghindari anarki dan lawlessness.
Konsep yang menjadi dasar perjuangkan kita adalah konsep pemerintahan yang kuat tetapi terbuka dan bertanggung jawab, a strong but open and responsible government. Demokrasi tidak identik dengan pemerintahan yang lemah dan tanpa wibawa. Justru sebaliknya, demokrasi bersandar pada kebebasan dan penegakan hukum serta aturan bersama, dan karena itu ia hanya akan berkembang kokoh jika diiringi dengan pemerintahan dan negara yang kuat.
Kekuatan semacam itu tercermin dari berbagai hal. Kuat dalam institusi dan pelaksanaan penegakan hukum. Kuat dalam menegakkan prinsip keadilan dan kesetaraan. Kuat dalam membela keadilan dan kebenaran.
Selain itu, pemerintah dan negara juga harus kuat dalam menjaga integritas dan keutuhan wilayahnya. Karena itu, Indonesia harus memperhatikan dan membangun institusi pertahanan dan keamanan yang sesuai dengan luasnya wilayah kita, yang sesuai dengan kompleksnya masyarakat kita, serta dengan visi kita untuk memainkan peran aktif dalam pergaulan bangsa-bangsa. Tanpa menjadi negara yang ekspansif, Indonesia harus memiliki kelengkapan yang memadai sehingga kita menjadi negara terhormat yang disegani oleh kawan dan lawan.
Singkatnya, semua itulah yang perlu kita wujudkan dalam mempersiapkan seabad Indonesia: ekonomi yang maju dan berkembang pesat, yang dimungkinkan oleh pemerintahan dan negara demokratis yang kuat dan berwibawa. Inilah esensi dari formula perjuangan kita. Kembangannya banyak dan rincian teknisnya bisa diurai dalam berbagai formula kebijakan yang kompleks. Tetapi itulah intinya, sebuah kristalisasi pemikiran sebagai landasan perjuangan kita ke depan.
Itulah yang harus menjadi pegangan Partai Golkar, sekarang dan di tahun-tahun mendatang. Kita harus menjadi partai yang menawarkan alternatif kepemimpinan yang berani karena benar, serta berani karena memiliki landasan konseptual yang visioner dan menjangkau jauh ke depan. Sikap dan prinsip ini harus tercemin dalam perjuangan politik kita, baik di DPR RI oleh fraksi partai kita, maupun oleh segenap kader dan pengurus partai di seluruh penjuru Tanah Air.
Akhirnya, sekali lagi saya ingin ingatkan, waktu berlalu begitu cepat, dan seabad Indonesia akan tiba dalam satu generasi lagi. Kita jangan membuang-buang waktu. Marilah kita berikan yang terbaik, sehingga kita semua akan dikenang sebagai the best generation, generasi kepemimpinan yang memberikan kontribusi besar dalam perjalanan sejarah kebangsaan kita.
Insya Allah, atas izin Tuhan yang Mahabesar, semua cita-cita mulia ini akan tercapai dan bangsa Indonesia akan diberi rahmat dan berkah yang lebih baik lagi di tahun-tahun mendatang.
Maju terus Partai Golkar
Maju terus Indonesia yang tercinta
Wabillahitaufiq walhidayah
Wassalamualaikum Wr. Wb.
(Pidato Renungan Awal Tahun 2012. Fraksi Partai Golkar, Senayan, 18 Januari 2012.)
Idrus Marham Dorong Rosada Maju Ke Pemilukada Jabar
BANDUNG - Meski memuji habis-habisan Dada Rosada, Wali Kota Bandung, Ketua DPP Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Idrus Marham yang juga Sekjen Golkar menolak dikatakan mendukung Dada mencalonkan diri jadi calon gubernur pada Pilgub 2013 mendatang."Saya enggak bisa secara pribadi bicara begitu (memberi dukungan atau tidak pada Dada)," kata Sekjen Partai Golkar itu di Hotel Savoy Homan, Jalan Asia Afrika, Kamis (21/7/2011)
Idrus mengatakan, ia mengembalikan semuanya pada rakyat Jabar. "Siapapun yang jadi gubernur ke depan ini, ini kan (tergantung) rakyat semua," tuturnya.
Disinggung seperti apa sosok Dada di matanya, ia hanya berkomentar singkat. "Saya kira beliau sudah dua kali jadi wali kota, itu kembali lagi ke masyarakat, biar mereka yang menilai," jelas Irham.
Namun ia memaparkan beberapa hal yang harus dimiliki calon gubernur Jabar mendatang pasca Ahmad Heryawan lengser. "Yang jelas harus berproses, punya prestasi, dan punya komitmen kepada rakyat, kita ingin dorong yang seperti itu," tandas Idrus.
Sebelumnya saat sambutannya acara LPM di tempat yang sama, Idrus menyatakan kompetensi Dada Rosada sudah melewati batasnya sebagai seorang walikota.
"Saya selaku junior Kang Dada, saya minta tidak usah calonkan diri jadi wali kota. Bukan karena sudah dua kali (menjabat). Tapi kapasitasnya sudah naik," terangnya yang langsung disambut tepuk tangan hadirin. []
Sumber: Bandung.detik.com